Cerpen - Eccedentesiast

ilustrasi by google


Damar, lelaki yang setiap harinya terlihat bahagia, seperti tanpa luka dan tanpa masalah dalam hidupnya. Selalu menghibur banyak orang dan menjadi orang yang bersemangat. Dibalik itu semua, Zevana tahu, ada teriakan yang Damar sembunyikan.

**
Zevana terus melihat ke arah Damar, sahabat lelakinya itu terlihat bahagia berbincang dengan teman sekelasnya. Senyum di wajahnya terus terpancar. Melihat senyuman di wajah Damar, bukan perasaan senang yang Zevana rasakan, tetapi miris.

Menjadi tetangga Damar sedari kecil, Zevana mungkin satu-satunya sahabat wanita Damar yang selalu bersamanya setiap hari. Atau mungkin bisa dibilang satu-satunya sahabat Damar. Karena ia sendiri tidak pernah melihat lelaki yang kuliah di jurusan Psikologi itu mempunyai sahabat lain.

Dengan wajah tampan­, sifat yang baik, sopan dan santun, dan seorang penasehat dan penghibur yang baik terbukti dari banyaknya teman yang selalu mengungkapkan curahan hatinya padanya— banyak yang mengatakan Damar memang lelaki idaman banyak wanita. Kecuali Zevana.

“Ze, kok bengong gitu sih?” suara Thea mengagetkan Zevana.

“Ah...enggak, aku tadi lagi melamun.”

Thea melihat ke arah pandang Zevana, dan ia menemukan sosok Damar.

“Oh, Damar? Kamu suka Damar, Ze?”

Zevana langsung membantah pertanyaan Thea. “Enggak lah, yang benar saja kamu.”

“Kalau suka juga gak ada yang larang kali, Ze.” Thea mulai menggoda Zevana.

Tiba-tiba saja sosok yang mereka omongkan datang.

“Ze, pulang bareng?” Damar bertanya pada Zevana.

Tanpa basa-basi, ia langsung mengangguk, merapikan tasnya dan berdiri mengikuti Damar ke parkiran.

“Thea, duluan ya!” pamit Zevana pada Thea, diikuti senyuman hangat Damar.

**
Di motor, Zevana dan Damar berbincang tentang perkuliahan hari ini. Meskipun berbeda jurusan, tetapi mereka memang sangat sering berbagi cerita. Apalagi masalah dosen yang mengajar.

“Dosenku baru, dia galak banget, Dam. Aku jadi merinding kalau mata kuliah dia.” Zevana bercerita sambil membetulkan helmnya.

“Hahaha, ada-ada saja kamu! Masa iya sampai merinding kaya gitu, Ze?” Damar tertawa. Zevana di belakangnya memajukan bibir, tanda kesal.

“Iya, habisnya dia kalau ngomong seram banget, Dam.”

Damar tetap tertawa mendengar cerita Zevana. Menurut Damar, satu-satunya wanita yang selalu bisa membuatnya tertawa hanya Zevana. Walaupun Zevana sosok yang kekanak-kanakan dan lebih banyak bercanda dibandingkan bertingkah serius, tetapi sikapnya yang seperti itu yang membuat Damar nyaman dengan Zevana.

Tidak terasa mereka sampai di rumah Zevana.

“Terima kasih, sahabatku yang paling baik!” ujar Zevana, sambil mencubit pipi Damar.

Bukannya kesakitan, Damar tetap tersenyum melihat tingkah lucu sahabatnya itu.

“Aku masuk ya, Dam. Hati-hati!”

Damar sekarang sedang memerhatikan punggung Zevana yang semakin lama semakin menjauh. Perlahan, senyum Damar menghilang dari sudut bibirnya. Ia terus memikirkan bagaimana nanti Zevana tanpa dirinya.
 **

Menemani Zevana belajar sudah menjadi salah satu bagian terpenting dari kegiatan mingguan Damar. Walaupun ia hanya duduk dan mendengarkan Zevana yang membaca buku dengan suara lantang, atau sekadar diperintah untuk membacakan materi, tapi Damar sangat menyukai hal itu.

“Dam, aku bosan.” Zevana memperlihatkan wajahnya yang ditekuk.

“Istirahat dulu, Ze.” ucap Damar yang pandangannya masih terfokus kepada buku di depannya.

Zevana yang penasaran dengan apa yang dibaca Damar, langsung berdiri dan berlari ke belakang sofa yang Damar duduki.

Eccedentesiast?” tanya Zevana, membaca judul buku yang Damar baca.

“Dam, kamu kayanya sering banget baca buku semacam itu, ya? Aku saja sudah pernah lihat kamu baca tentang Eccedentesiast dua kali. Memangnya seru?” Zevana bertanya lagi.

“Bagi anak psikologi kaya aku ya seru, Ze. Ini yang aku baca tentang salah satu karakter manusia juga.” Jawab Damar, matanya masih terpaku pada buku di depannya.

Melihat respon Zevana yang hanya terdiam, ia akhirnya menaruh bukunya di meja.

“Pasti maunya diceritakan tentang apa itu Eccedentesiast?”  Ia bisa menebak apa mau Zevana hanya dengan melihat respon darinya.

Zevana ‘nyengir kuda’. Ia tahu Damar pasti akan dengan senang hati menjelaskan tentang apa yang ia baca.

Akhirnya Damar menjelaskan Eccedentesiast pada Zevana. Lebih tepatnya mendongengkan, karena beberapa menit setelah Damar bercerita, Zevana mengantuk.
 **

Hari ini Zevana tidak ada jadwal kuliah. Ia merasa sangat bosan di rumah. Ia terus menghubungi Damar untuk diajak pergi, sekadar ke mall atau ke cafe, yang penting tidak di rumah.

“Damar gak angkat terus, sibuk kayanya.” Zevana menggerutu sambil menatap layar handphone-nya. Sudah 15 kali ia menghubungi Damar, tapi sahabatnya itu tidak mengangkat satupun panggilan darinya.

Zevana kembali teringat tentang Damar. Ada fakta mengejutkan dari Damar yang sudah ia ketahui, tetapi ia belum berani untuk bertanya langsung padanya. Zevana terlalu takut. Ia takut Damar akan menjauhinya atau akan canggung padanya.

Ia kembali membuka handphone-nya, bukan untuk menghubungi Damar, ia membuka suatu website dan melihat tanggal disana.

Tujuh hari lagi.
**

Sepulang kuliah, Zevana mengajak Damar ke rumahnya. Ia sudah menyiapkan banyak film untuk ditonton bersama.

“Pertama, nonton yang komedi dulu. Aku mau ketawa, Dam.” ucap Zevana.

Damar yang sedang memilih kaset pun mengangguk dan segera mencari film komedi.

Mereka akhirnya menonton film tentang badut yang menghibur anak-anak.

“Dam, badut itu hebat ya, dia selalu bisa menghibur orang lain disaat dibutuhkan. Padahal, di balik kostum badutnya, bisa saja dia menutupi kesedihannya, kan?” ucap Zevana di akhir film.

“Iya, Ze. Ya namanya juga tuntunan profesi. Sudah selayaknya badut itu harus menghibur, jadi tidak peduli bagaimanapun keadaan hatinya saat bekerja, mau sebanyak apapun masalahnya, ia harus terlihat bahagia di depan semua orang. Seperti kostumnya, senyumnya juga sebenarnya topeng, dan palsu.” ucap Damar, dengan nada serius.

Damar menambahkan, “Terkadang senyum di bibir siapapun, bukan hanya badut saja, banyak yang palsu. Terkadang orang menutupi kesedihan mereka dengan senyuman. Walau palsu, senyuman juga bisa menguatkan, ya setidaknya perlahan mengobati hati yang luka.”

“Dam, kenapa ada orang yang lebih memilih berpura-pura bahagia ya dibandingkan berbagi kesedihannya kepada orang lain?”

“Ada beberapa orang yang mungkin merasa lebih baik menyelesaikan semuanya sendirian, dibandingkan harus berbagi masalah. Terkadang, mereka hanya tidak mau membuat orang lain khawatir atau ikut kesusahan, Ze.”

“Seperti kamu?”

Zevana menutup mulutnya, ia salah berucap. Harusnya ia tidak bertanya seperti itu kepada Damar.

“Memangnya aku terlihat punya banyak masalah, Ze?”

Pertanyaan Damar membuat Zevana terdiam. Rasanya ia ingin menjawab, “Enggak, Dam. Kamu sangat terlihat baik-baik saja. Tapi aku tahu, masalahmu sangat besar. Kenapa kamu gak berbagi masalah padaku?”
**

Sudah 3 hari Damar tidak terlihat di kampus. Zevana juga tidak bisa menghubunginya. Ia sudah bertanya kepada teman kelas Damar, tapi mereka tidak ada yang tahu kenapa Damar tidak masuk.

Kekhawatiran Zevana semakin besar. Ia takut terjadi sesuatu terhadap Damar.

Seusai kuliah, Zevana memutuskan untuk pergi ke rumah Damar. Sudah lama sekali ia tidak diizinkan untuk berkunjung kesana. Damar bilang, di rumahnya sering tidak ada orang, jadi ia menghindari omongan jelek dari tetangga.

Di depan rumah Damar, Zevana berusaha menghubungi Damar, tetapi masih tidak ada jawaban. Rumahnya pun terlihat sepi. Zevana akhirnya bertanya kepada tetangga.

“Permisi, Bu. Apa Damar ada di rumah?” ia bertanya kepada penjaga warung di sebelah rumah Damar.

“Mas Damar terakhir saya lihat sih, tiga hari lalu pergi membawa tas pagi-pagi sekali. Saya kira dia menginap di rumah temannya atau ada acara kampus.” jawab penjaga warung.

Zevana lalu mengucapkan terima kasih, lalu berpikir kemana Damar pergi.

Tiba-tiba saja ingatan Zevana terlintas kepada alamat rumah yang ia temukan di notes handphone Damar. Ia segera memesan ojek online dan menuju ke alamat tersebut.
**

Satu bulan yang lalu

“Dam, aku pinjam handphone-mu ya, mau searching!” ujar Zevana.

Damar meng-iya-kan dan langsung pergi mencari makanan di minirmarket dekat rumah Zevana.

Zevana pun membuka handphone Damar dan langsung menemukan hal aneh pada wallpaper-nya. Wallpaper Damar adalah sebuat kutipan tentang Eccedentesiast, buku yang pernah ia lihat dibaca oleh Damar akhir-akhir ini.
     Eccedentesiast ; menyembuyikan luka di balik senyumnya.

Zevana bertanya, apa hubungan Damar dan kutipan itu. Tapi ia tidak begitu memikirkannya dan kembali melanjutkan tujuannya meminjam benda di tangannya ini.

Ia mencari tugasnya dan berniat memindahkannya ke notes di handphone Damar.

Saat membuka notes, hal janggal kembali ia temukan. Ia menemukan alamat rumah dengan judul ‘Suicide´ yang berarti bunuh diri. Karena rasa penasarannya muncul, ia membuka dokumen lain yang ada di dalam notes itu.  Dan ia menemukan alamat website.

myeccedentesiast.wordpress.com? Apa ini? Ini personal blog?” tanyanya, heran.

Akhirnya Zevana memindahkan dua hal yang ia temukan itu ke dalam handphone miliknya. Dan setelah Damar pulang dari rumahnya, ia memutuskan mencari tahu semuanya.
**

Di jalan, Zevana tidak bisa berpikir dengan baik. Pikiran buruk terus terlintas. Ia takut kejadian yang paling buruk terjadi.

Setelah ia menemukan alamat website yang ada di notes Damar sebulan lalu. Ia membukanya dan membaca semua yang ada di dalamnya. Dan yang ia temukan adalah kisah hidup Damar yang pilu.

Selama ini, Damar bertopengkan kebahagiaan. Hidupnya menyakitkan.

Setelah ditinggalkan oleh Ibunya yang menikah lagi dengan duda kaya, Ayah Damar menjadi pemabuk dan sering membawa wanita yang tidak dikenal ke rumah. Selain itu, di rumah Ibunya pun ia tidak dihargai. Kakak tirinya adalah seorang lulusan dari Teknik Sipil yang sudah bekerja dan sukses, sedangkan keputusannya untuk kuliah jurusan Psikologi di tentang oleh Ibunya. Setiap ia belajar dan membaca buku psikologi, bukunya diambil dan bahkan sampai dibakar.

Damar yang selalu memakai jaket atau baju lengan panjang pun ternyata menutupi luka memar di tangannya. Karena ia melawan Ayahnya yang sedang mabuk, tak jarang tangannya terkena pecahan botol minuman.

Damar tidak pernah diberi uang oleh kedua orang tuanya, kerja paruh waktu ia lakukan malam hari. Sebenarnya, setelah pulang dari mengantarkan Zevana, Damar tidak pernah langsung pulang ke rumah. Ia ke tempat kerjanya.

Beasiswa di kampus selalu ia ikuti, demi membayar uang kuliah. Semuanya ia lakukan sendirian.

Di hadapan teman-temannya, termasuk Zevana, Damar tidak pernah terlihat mempunyai banyak masalah. Bahkan ia terlihat tenang dan selalu gembira. Zevana saja yang sudah sejak SMP satu sekolah dengannya, tidak tahu apa-apa tentang masalah berat Damar. Ia merasa gagal menjadi sahabat.

Di website yang Zevana buka itu, terdapat tanggal yang bertepatan pada hari ini. Zevana tidak tahu maksud dari tanggal itu, yang ia takutkan adalah judul yang Damar tulis pada alamat yang ada di notes-nya akan ia lakukan pada tanggal itu. Ya, suicide.

Zevana pun sudah sampai di tempat tujuannya. Ia melihat ke sekeliling dan rumah di hadapannya ini sangat sepi, berbeda dengan rumah lain. Rumah ini seperti rumah kosong yang lama tidak ditempati.

Zevana memutuskan untuk masuk dan terus berdoa semoga Damar baik-baik saja.

Pagar rumah yang sudah dipenuhi karat, rerumputan di halaman yang panjang dan seperti tidak terurus, juga pintu rumah yang rusak, membuat Zevana semakin yakin ini adalah rumah kosong yang sudah lama tidak ditempati.

Zevana masuk ke dalam, di dinding rumah dipenuhi tulisan “Bunuh Diri”. Melihatnya saja membuat Zevana merinding. Ia langsung teringat Damar. Ia terus berjalan dan tidak henti untuk berdoa.

Ia menemukan Damar, tepatnya di ruangan yang sepertinya bekas ruang tamu. Ia melihat Damar di atas kursi dan sudah mengikat lehernya kepada tambang yang ia gantungkan.

Zevana langsung berteriak memanggil sahabatnya itu, “DAMAR, JANGAN LAKUKAN ITU!”

DUG. Kursi yang Damar pakai terjatuh. Sosok Damar akhirnya menoleh ke arah Zevana. Tetapi, tanpa hembusan nafas dan detak jantung.

-The End-

Komentar

  1. Kok meninggal ?? :(( ku kira happy ending

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iua karena dia nggak mau nanggung beban hidup lagi, jadi milih buat bunuh diri. Btw, makasih udah baca dan komen💙

      Hapus
  2. kok meninggal? aku ngiranya dia bakal cerita dan selesain masalah sm sahabatnya😱

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dia udah rencanain mau bunuh diri dari lama, karena udah gak kuat nanggung beban:(
      Makasih ya udah baca💙

      Hapus
  3. Telat dateng jadinya udah terlanjur bunuh diri, btw sedih banget ceritanya dan salut ama Damar yg pibter nymbunyiin luka dibalik senyumannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu sengaja dibuat alurnya Zevana telat, biar Damar berhasil akhirin hidupnya. Damar kan orang yang kuat, tapi sayangnya lama-kelamaan dia gak kuat lagi:')

      Makasih udah baca💙

      Hapus
  4. aku udah ngira pasti bakal meninggal, tapi yang unexpected kenapa dia bunuh diri:( huweeeeeeeeee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa bisa ngira akhirnya meninggal?:') soalnya dia mikir itu cara satu-satunya biar bebannya ilang.

      Makasih sudah baca💙

      Hapus
  5. Sad ending :( emang kadang tuh orang dengan senyuman paling lebar adalah orang yg nyembuiin luka paling dalam :') TP AKU SUKAAAK CERITANYAAAA

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju! Gak semua senyum itu emang benar-benar bahagia:')

      Makasih udah baca dan suka💙

      Hapus
  6. "Menyembunyikan luka dibalik senyumnya".. ❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya itu eccedentesiast:) makasih ya udh baca💙

      Hapus
  7. Sedi baca endingnya ;(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Damar kan sengaja biar bebannya ilang:') makasih udah baca💙

      Hapus
  8. Sedih ih, ditunggu karya-karya selanjutnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artikel- e-KTP : Megaproyek Berujung Megakorupsi

Resensi Novel - Fate by Orizuka